Apa yang dirasakan oleh sekuntum bunga yang baru saja mekar? Bahagia…. Kebahagiaan yang tak terjelaskan lewat kata-kata. Itulah pertama kalinya ia mengalami sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang tak akan dialaminya lagi. Sesuatu yang terjadi hanya “sekali” saja. Ia bersuka-cita, ia menari dan menyanyi riang….. Ia mengumpulkan para sahabat dan kerabat untuk berbagi berita baik itu dengan mereka: “Lihat, lihat…. Aku telah mekar!”
Apa yang terjadi, How did it happen?
Entah apa yang terjadi, entah bagaimana….. Ia berusaha untuk mejelaskan, tetapi tidak mampu. Ketika Kabir, mistik sufi asal India Utara itu ditanya, “Apa yang kau rasakan saat itu?” Ia menjawab, “Kulihat sungai Ganga yang berbada lebar itu terbakar, dan ikan-ikannya memanjat pohon!”
Nanak, yang kelak akan dikaitkan dengan agama Sikh, salah satu diantara agama-agama baru yang berusia dibawah enam abad, menjawab dengan cara lain: “Aku melihat langit terbelah, dan turun hujan cahaya….. Cahaya Murni!”
Namun, mereka pun menyadari bahwa pengalaman mistik mereka tidak berarti apa-apa jika tidak bermanfaat bagi orang lain. Maka, terpaksa, mereka berusaha untuk meng-“akal”-kan sesuatu yang sungguhnya berada diluar akal, supaya kita dapat memahaminya. Supaya “masuk-akal” kita!
“Agama, dan kitab-kitab suci,” kata Murshidku, Sheikh Baba, seorang tukang es di Lucknow (Pusat Peradaban Islam di India Utara), “adalah hasil upaya seperti itu.”
Ia melanjutkan, “Agama dan kitab-suci adalah sarana, bukan tujuan. Gunakan mereka sebagai pemicu untuk memicu kesadaran di dalam dirimu. Untuk memicu kehausan dan kerinduan di dalam dirimu. Untuk apa? Untuk mengalamai sendiri apa yang dialami oleh para rasul, para sufi, juga para yogi, para suci dan mistik dari semua agama, semua tradisi.
“Jika kau menganggap agama dan kitab suci sebagai tujuan, kau akan menduakan Allah. Itulah yang dilakukan banyak orang saat ini. Tujuan adalah Allah. Dari-Nya kita berasal, kepada-Nya kita kembali.”
Pemahaman tentang agama seperti inilah yang menjadikan agama Berkah atau Rahmat bagi Alam Semesta. Tafsir ini menjadikan agama Jalan Raya, Jalan Tol yang dapat dilalui siapa saja, kapan saja…. Jalan bebas hambatan.
Berbicara atau menulis tentang agama, atau tepatnya “pemahamanku tentang agama”, aku tidak dapat tidak mengutip Guruku, Murshidku, Sheikhku. Segala apa yang kumiliki saat ini hanyalah karena berkahmu, Guru!
Ia adalah penjual es, miskin materi, berpakaian compang-camping, robek sana, robek sini yang kemudian disulam dengan rapi oleh keponakannya….. Tidak seperti para ustad muda jaman kita yang sering muncul di layar teve. Tata Rias oleh ……. Busana oleh …….. Tepuk Tangan!
Sayang, setting panggung dan busana penuh gemerlap itu jarang menunjukkan kegemerlapan hati sebagaimana pernah kusaksikan dalam diri Murshidku. Seorang tukang es, penjual es balok.
Ketika seorang remaja dari keluarga Hindu menyampaikn niatnya untuk “masuk Islam”, ia pun tertawa: “Kata siapa kau belum masuk Islam? Ingat, Penyerahan Diri dan Kedamaian Hati itulah Islam. Penyerahan Diri terhadap Kehendak Ilahi dan Kedamaian Hatimu sendiri – dan, kau, nak, memiliki keduanya. Kau sudah menyatakan niatmu untuk masuk Islam, dan Allah telah mendengar niatmu itu.
“Tetapi,” nah ini yang luar biasa, yang barangkali jarang didengar di negeri kita, “janganlah sekali-kali menymbongkan dirimu sebagai Muslim. Biarlah Allah yang menentukan apakah Penyerahan Dirimu sudah sampurna atau tidak.”
“Aku ingin lebih dekat denganmu, Guru!” remaja itu masih ngotot.
“Kau sudah dekat dengan Allah.
Tugasku selesai sudah. Dengar nak, aku pun, hingga saat ini masih ber-jihad untuk menjadi seorang Muslim. Aku pun masih menunggu fatwa-Nya apakah aku diterima sebagai Muslim atau tidak.”
Jihad, bagi Guruku, berarti Koshish dalam bahasa Urdu, To Strive, To Struggle, bukan To Fight, “Jihad berarti ‘Berupaya dengan Sungguh-Sungguh’. Jihad bukan berantam, bukan berkelahi,bukan mencaci-maki, apalagi membunuh.”
Ia menggunakan bahasa sederhana, bahasa populer, bahasa gaul untuk jaman itu….. maklum, umunya para murid adalah remaja, anak-anak muda….. dan, yang termuda, yang baru berusia 11-12 tahun, seorang anak yang berasal dari Solo, Jawa-Tengah, Indonesia.
“Tetapi, ada juga ayat yang mengatakan bahwa di yang diridhai Allah hanyalah Agama Islam.” Murid yang paling tua, berusia 30-an tahun, mengingatkan sang Guru akan satu ayat dari kita yang memang bunyinya kurang-lebih begitu.
Sang Guru tersenyum, “Bukan diridhai, tidak ada istilah ridha dalam ayat itu. Ridha itu bahasa Arab, dan Al-Qur’an dalam bahasa Arab. Jika memang Allah ingin menggunakan istilah ridha, Ia akan menggunakannya. Aku memaknai, memahami ayat itu seperti ini: Bagi Allah yang ada hanyalah Islam.”
Beliau tidak pernah meng-klaim sebagai penafsir Kitab Suci, “Siapakah kita ini hingga dapat menafsirkan Firman Allah? Kita hanya dapat memahami Firman-Nya sesuai dengan tingkar kesadaran kita masing-masing.
“Sebab itu,” ia pun selalu menasihati kita, “janganlah sekali-kali merasa sudah ‘khatam’, sudah selesai dengan kitab-sucimu. Kitab-kitab suci bukan untuk dibaca seperti buku-buku umum lainnya. Kita-kitab suci harus diulangi. Terus-menerus, sepanjang hidupmu….. karena, setiap kali kau membacanya, jika kesadaranmu telah meningkat, kau akan memperoleh makna baru.”
Sebab itu pula, beliau selalu menganjurkan kita untuk membaca kitab-suci, bahkan mengaji dalam bahasa Urdu, salah satu dari sekian banyak bahasa nasional India, “Karena, dengan cara itu kalian dapat lebih memahami arti kitab suci.”
Majelis-majelis ulama di India maupun Pakistan tidak mengharamkan pengajian dalam bahasa Urdu, bahakan bahasa daerah lainnya. Sehingga, seperti yang dikatakan oleh Guru, “Kalian tidak seperti burung beo, hanya menghafal saja!”
Wah, Guru, untung kau lahir di India.
Kalau lahir di Indonesia, barangkali sudah diperkarakan oleh mereka yang merasa lebih tahu dan memonopoli ajaran agama.
Kembali pada beliau, “Ya, di mata Allah yang ada hanyalah satu, yaitu Islam. Dan, semua Nabi adalah Muslim. Hazrat Isa yang ajarannya menjadi inspirasi bagi agama Masihi, Hazrat Musa yang syariatnya menjadi agama Yahudi – mereka semua adalah Muslim. Tanpa kecuali. Bahkan, nabi-nabi lain, dari tradisi-tradisi lain yang tidak disebut dalam Al-Qur’an. Karena, Allah pun berfirman bahwa tidak semua nabi dijelaskan lewat Al-Qur’an.”
Beliau mengartikan Islam sebagai “sifat dari agama”. Dan, “sifat”-nya itu satu. “Seperti,” Beliau jelaskan, “gula hanya memiliki satu sifat, ‘Manis’. Itu saja. Apapun bahan baku yang digunakan untuk membuat gula, jika tidak manis, ya bukan gula.
“Din adalah sifat Mazhab.
Din adalah Keagamaan, inti sari agama, agama yang dilakoni, dijalankan. Mazhab adalah wahananya, alirannya. Yang mengalir adalah Air Kehidupan Din. Mazhab adalah agama, aliran. Din adalah keagamaan, air yang mengalir.
“Apapun Mazhabmu,
Jika kau menjalankannya dengan baik, maka kau telah menemukan Din. Dan, Din itulah yang diperhatikan oleh Allah.
“Agak tidak tepat jika Din diartikan sebagai agama.
Karena, ketika Al-Qur’an diterima oleh Kekasihku,” Ya, ‘Kekasihku’, atau Mere Mehboob dalam bahasa Urdu, dengan julukan itulah beliau sering menyebut Rasul Allah, Muhammad yang kumuliakan…… “saat itu sudah ada agama Masihi, ada agama Yahudi, ada kelompok-kelompok lain pula. Kendati demikian, Firman Allah jelas dan tegas bahwa Isa yang dijunjung tinggi oleh kelompok Masihi, dan Musa yang dijunjung tinggi oleh kelompok Yahudi, adalah Muslim, Nabi. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang rendah. Semua Nabi, semua Rasul sama adanya.
“Din adalah ‘laku-agama’, perilaku yang sesuai dengan ajaran agama. Dan, ajaran agama sungguh sangat luas, tidak dapat dijadikan monopoli salah satu kelompok. Maka, Allah pun menasihati kita supaya melakoni agama sesuai degan kesadaran kita, dan membiarkan orang lain melakoninya sesuai dengan kesadaran dia.
“Sungguh sangat tidak bijak jika kita mengharuskan seorang anak yang baru berusia 5 tahun untuk melakoni agama dan memahami ajaran agama sebagaimana dilakoni dan dipahami oleh seorang dewasa.”
Saat itu, pemahaman agama seperti itu terasa “oke-oke” saja. Masuk akal sih, walau usia saya baru 11-12 tahun. Beberapa tahun kemudian, kembali ke Indonesia, saya baru sadar betapa revolusionernya pemahaman Guruku, Murshiduku, Sheikhku…. Waheguru, Wah Guru, Engkau sungguh hebat!
Di lain kesempatan ia merestui perkawinan antara dua orang muridnya yang beda agama. Perkawinan seperti itu memang tidak dilarang oleh konstitusi negara India, kendati sebagian masyarakat masih belum dapat menerimanya. Saat itu, seorang murid lain berkomentar, “Baba, bagaimana jika kelompok fundamental menyerangmu?”
“Ah, kelompok fundamental….
Apa benar mereka fundamental? Jika benar fundamental, mereka tidak akan menyerang. Karena mereka tahu persis ketika Mere Mehboob kawin dengan Khadija, ritual Agama Islam pun belum ada. Perkawinan mereka itu sesuai dengan ritual agama yang mana? Apakah perkawinan mereka tidak sah?
“Tidak, yang dapat menyerang saya bukanlah kelompok fundamental. Tetapi, segerombolan orang-orang yang belum memahami agama. Kasihan. Ya, mereka patut dikasihani. Aku akan menerima serangan mereka, dan akan berusaha untuk menjelaskan sebatas kemampuanku.”
Ia bukanlah seorang Guru yang suka memasang senyuman plastik. Ketika gusar, ia tidak berusaha untuk menyembunyikan kegusarannya. Seperti ketika ia menghadapi teman-teman dari kelompok Wahabi yang meneruskan sekte Hambali yang alot, keras, kaku. Mereka mengaku sebagai satu-satunya kelompok dalam Islam yang masih setia pada Al-Qur’an dan Hadis. Mereka tidak relah jika ada yang melakukan ijtihad dan berusaha untuk memahami ayat-ayat suci sesuai dengan kesadarannya.
Mereka adalah kelompok yang selalu berseberangan dengan Cak Nur, Gus Dur, Cak Nun, Dawam, Ma’rif. Mereka selalu membela para penjahat dan teroris seperti Amrozi, Samudra dan lain-lain.
Kepada mereka, Sang Guru mengatakan , “Janganlah hidup dalam ilusi seolah dengan memelihara janggut seperti nabi, atau berjubah seperti beliau – kalian sudah cukup Islam. Berakhlaklah seperti beliau.
“Nabi mengangkat pedang hanya untuk melawan kezaliman, demi kebebasan dan kemerdekaan….. Apa yang kalian lakukan? Setiap tahun mengejar teman-teman kita dari kelompok Shi’a. Tidak pernah berhenti sebelum jatuhnya korban, sebelum ada nyawa yang melayang. Mencaci-maki kelompok-kelompok lain. Kalian adalah Daag pada wajah Islam.” Daag dalam bahasa Urdu berarti “Noda”.
Sekitar tahun 1960-an memang masih sering terjadi pertikaian antara kelompok Shi’a dan Sunni, khususnya menjelang hari berkabung bagi kelompok Shi’a dimana mereka memperingati kematian Hassan dan Hussein, cucu Nabi, Mere Mehboob, Kekasihku.
Beliau, Guruku, sungguh merupakan ensiklopedi kebijakan. Suatu ketika ia menjelaskan, “Nabi kita begitu rendah hati, begitu sopan, santun, sehingga siapapun yang datang kepada-Nya, ia akan berkata, ‘Doakanlah diriku, keluargaku, sahabatku’…. Padahal, bukanlah beliau yang membutuhkan doa kita. Kitalah yang membutuhkan doa beliau.
“Sekarang, apa yang terjadi?
Telah menjadi kebiasaan kita untuk setiap kali mendoakan beliau. Tidak apa, baik-baik saja. Asal kita tidak menjadi sombong, tidak menjadi angkuh seolah beliau membutuhkan doa kita.
“Tisak, beliau tidak membutuhkan doa kita.
Kitalah yang membutuhkan doa beliau!”
Tetapi, kemudian, ia pun selalu mengingatkan kita, “Janganlah kalian membingungkan teman-teman yang belum siap untuk pelajaran ini. Mereka yang belum siap dengan materi yang kita dapatkan disini.
“Dalam setiap tradisi, dalam agama manapun, kita selalu diingatkan supaya tidak melemparkan mutiar kepada kawanan babi. Bhagavad Gita pun mengatakan, janganlah menyebarluaskan ajaran ini di tengah masyarakat yang belum siap.
“Babi diberi mutiara, apa yang terjadi?
Ia tidak tahu nilai mutiara, ia memakannya, keselek, dan ia tidak dapat benapas. Ia gusar dan akan menyerangmu kembali.
“Berikan mutiara kepada mereka yang mengerti nilai mutiara. Kepada mereka yang mengapresiasinya. Kepada mereka yang akan menghargainya.
“Seorang yang memiliki pengetahuan dan tidak berbagi dengan orang lain yang siap untuk menerimanya, adalah seorang kikir, pelit. Berbagilah dengan mereka yang siap.
“Tuhan ada dimana-mana, di Barat dan di Timur, di Selatan dan di Utara. Wajah-Nya ada dimana-mana, tetapi untuk pemusatan kesadaran kita membutuhkan kiblat…. maka, dalam setiap agama ada kiblat.
“Jagalah tali persahabatan dengan sesama manusia….. ya, dengan mereka yang berjiwa manusia, bukan berbadan manusia saja……” Beliau selalu menasihati kita untuk menjauhi mereka yang hanya berbadan manusia. Tidak perlu membenci mereka, hanya menjauhi saja, “Karena, kehewanian mereka bagaikan penyakit menular. Nanti, pada suatu ketika, jika kau sudah memiliki kemampuan untuk mengobati mereka, silakan mendekati mereka…. Tetapi, jangan dulu, jangan sekarang…. Kemampuan seperti itu belum ada dalam diri kita.”
Din, atau melakoni agama, menjalani ajaran agama, bagi beliau adalah proses seumur hidup, “Jika kau menganggap dirimu sudah menjadi Ulama, sudah memiliki Ilmu – maka kau akan mati dengan ilmumu itu. Segitu-gitu saja yang kau miliki. Kau tidak akan berkembang lebih lanjut.
“Seorang Ulama Sejati tidak pernah berhenti menggali diri…. Ia menemukan pemahaman-pemahaman baru dalam dirinya, bukan saja dengan membaca ulang kitab suci, tetapi dengan memahami ayat-ayat Allah yang bertebaran di alam semesta. Dimana-mana.”
Ya, Ayat-Ayat Allah bertebaran dimana-mana, “Ada yang dirangkum dan ditulis, dicetak…. Kita menyebutnya Al-Qur’an, Bacaan Mulia. Ada yang menyebutnya Bhagavad Gita, Nyanyian Mulia. Ada pula yang menyebutnya Injil, Berita Mulia. Semuanya mulia.
“Aku percaya,” lanjut Guruku, “bahwa semua itu berasal dari Satu, dari Allah. Semuanya, tanpa kecuali, berasal dari Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa.
“Dulu, aku pun sering mempersoalkan teman-teman Hindu yang kuanggap memuja berhala….. Tetapi, kemudian kupahami bahwa apa yang kuanggap berhala, adalah kiblat mereka. Mereka menggunakan semua itu sebagai sarana untuk memusatkan kesadaran mereka, sebagaimana aku menggunakan kaligrafi, bahkan gambar Mekah Shariff sebagai sarana untuk pemusatan kesadaranku.”
Dengan bekal pemahaman agama seperti inilah aku kembali ke negeri asalku, ke tanah air, ke Indonesia….. dan, awal-awalnya masih oke….. tetapi, lambat-laun, pemahaman agama yang berkembang disini sungguh membingungkan aku.
Agama tidak lagi menjadi sarana.
Agama disejajarkan dengan Tuhan, dianggap absolut. Begitu pula dengan kitab suci…. Dan, yang lebih celaka lagi, Manusia Indonesia, oleh lembaga yang merasa paling kompeten, tidak lagi diperkenankan untuk memahami aajaran agama sesuai dengan kesadarannya. Ia tidak diperkenankan untuk berijtihad. Pemahaman agama dibungkus rapi dalam kapsul, di pak, dan diberi tanda, “Sesuai dengan …..” Dan, hanyalah pak atau botol bertanda “Sesuai dengan ……” itulah yang diperjual-belikan.
Agama menjadi komoditas. Mereka yang merasa memiliki monopoli terhadap agama, menjajahnya di pasar untuk diperjualbelikan. Para politisi menggunakannya dengan cermat. Para pengusaha pun idak mau kalah.
Sementara itu, Lia Aminuddin diperkerakan, Ahmadiyah dikejar-kejar….. Jika Guruku disini, barangkali darahnya sudah dinyatakan halal. Terlepas dari setuju atau tidaknya kita terhadap apa yang dikatakan oleh Lia dan apa yang didakwahkan oleh Ahamadiyah, jangan lupa apa yang kita katakan dan dakwahkan pun tidak diseutujui semua orang. Ya, kebetulan saja kita mayoritas, sehingga minoritas mati kutu.
Agama, sebagaimana kita pahami dan praktekkan saat ini, jelas tidak menjadi Rahmat bagi Alam Semesta. Jangankan Alam Semesta, bagi negara kita pun tidak bisa.
Agama sebagaimana dipraktekkan oleh kelompok-kelompok militan di Timur Tengah misalnya, menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan bagai seluruh rakyat Palestina dan Lebanon. Saat ini, silakan berpihak pada mereka – kelak, jika Bangsa Palestina dan Lebanon bangkit, namamu akan dimasukkan dalam daftar para pengkhianat bangsa dan negara. Kewarasan kita tidak setuju dengan serangan agresor Israel, tetapi kewarasan kita juga tidak setuju dengan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok militan sehingga selalu memicu perang di kawasan itu.
Palestina, Lebanon, Irak….. negara-negara di Teluk yang merasa tertindas saat ini, harus mengupayakan kelahiran seorang Gandhi. Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan, dan kejahatan yang menyerangmu akan kehabisan energi. Mereka akan berhenti sendiri. Saat ini, kejahatan Israel malah mendapatkan energi dari kelompok-kelompok militan di Timur Tengah. Mereka memperoleh alasan untuk melakukan agresi militer.
Adalah suatu kemalangan bahwa kelompok-kelompok militan seperti itu, ada juga di tanah-air kita. Ada juga tokoh-tokoh yang menyebarluaskan kebencian dengan menggunakan dalih agama. Ayat-ayat suci diselewengkan artinya, dan penyelewengan itu disebut ilmiah. Baru keluar dari penjara, sudah berkarya kembali. Seribu orang menghadiri Tabligh Akbar yang digelarnya. Tepuk Tangan!!
Agama adalah Berkah.
Ia menjadi Rahmat yang menyebarkan Kasih, atau menjadi Laknat yang penuh Kebencian – karen ulah manusia, karena kita. Karena pemahaman kita, karena laku kita.
Agama merupakan Rahmat bagi Alam Semesta.
Agama-agama, setiap agama, agamaku dan agamaku, agama kita semua – yang intinya adalah satu, Penyerahan Diri pada Kehendak Ilahi – tanpa kecuali merupakan Berkah dan berpotensi sebagai Rahmat bagi Alam Semesta. Berpotensi. Benih Potensi itu mau ditanam, disiriami air kehidupan, dipupuki dengan cinta…… atau dibiarkan jatuh diatas tanah yang gersang, dan mati dalam kekeringan…… semuanya kembali pada kita.
Agama adalah sesuatu yang bersifat sangat individu, dalam pengertian setiap orang harus menjalaninya sendiri. Ia tidak dapat diwakilkan. Tidak ada yang menjadi perantara antara khalaq, ciptaan Allah, dan Khaaliq, Gusti Allah., Sang Maha Cipta. Institusi-institusi yang saat ini berperan sebagai perantara tak akan bertahan lama.
Kebangkitan Manusia Indonesia, bangkitnya kesadaran dalam diri kita – akan mengakhiri peran institusi-institusi tersebut. Dan, institusi-institusi tersebut pun menyadari hal ini. Mereka memahaminya betul. Mereka tahu bahwa institusi-institusi mereka melanggar Hukum Alam, bertentangan dengan Firman Allah.
Berkah dan Rahmat adalah dari Allah.
Berkah tidak dapat diinstitusikan. Rahmat tidak dapat dilembagakan. Segala upaya ke arah itu hanya membuktikan ketololan kita.
Lalu, bagaimana agama yang konon diakui sebagai rahmat bagi seluruh alam, dapat diinstitusikan? Bagaimana dapat dilembagakan?
Namun, kenyataan di lapangan, ground facts, membenarkan bahwa setiap agama telah diinstitusikan, dilembagakan…… Apa iya? Jika memang demikian, bagaimana dengan Firman Allah bahwa Agama adalah Rahmat bagi Seluruh Alam? Apa iya, Rahmat Allah dapat diinstitusikan?
Saya tidak tahu.
Yang jelas, pelembagaan semacam itu telah menyusahkan banyak orang. Memecah-belah umat, memicu pertikaian, pertengkaran, bahkan perang atas nama agama.
Jangan-jangan, dalam kegagapanku aku berpikir, jangan-jangan yang mereka anggap agama dan dilembagakan itu bukan agama….. ini memang pemikiranku yang sangat bodoh dan tidak ilmiah….. Jangan-jangan yang mereka lembagakan dan institusikan itu hanyalah “ego” mereka, kesombongan mereka, keakuan mereka yang merasa sudah tahu segala sesuatu tentang agama.
“Manusia yang masih merupakan konsep, masih harus berjuang untuk menjadi final,” kata seorang teman, “malah berusaha untuk menciptakan konsep tentang Tuhan.” Inilah kesia-siaan kita. Inilah kekacauan pikiran kita.
Lembaga-lembaga dan institusi-institusi kita hanya menyandang nama agama. Identitas agama digunakan oleh pengusaha dan pedagang bagi usaha mereka, warung mereka. Digunakan oleh para politisi sebagai asas partai mereka. Bahkan pembela para penjahat pun menggunakannya secara bebas. Tidak ada yang menegur mereka? Kenapa? Karena, kita semua melakukan kesalahan yang sama. Kita semua, sama-sama gila!
Agama adalah Rahmat bagi seluruh Alam.
Alas, sayang, kita belum beragama…. Kita belum merasakan Rahmat-Nya….. Turunnya Hujan Berkah tidak memberi manfaat apa-apa kepada kita, karena kita berdiri tegak seperti gunung, bukit. Kita tetap gundul.
“Jadilah Lembah,” kata Lao Tze, “rendahkan dirimu, dan kau akan menjadi subur….. Air hujan akan menggenang, kau dapat menampungnya!” Kemudian, agama pun betul-betul menjadi Rahmat bagi Alam Semesta.
Agama manapun,
Agamamu dan Agamaku, Agama-Agama kita….. Agama yang merupakan jalan, dan setiap jalan menuju tujuan yang satu dan sama – Allah! Kau menyebutnya Allah, ada yang menyebutnya Bapa di Surga, Hyang Widhi, Tao, Buddha, Satnaam, Ahura Mazda, Gusti – apa saja – Ia Satu dan Sama.
Banyak Jalan, Satu Tujuan.
Namun, jangan pula berhenti di pinggir jalan sembari mengagung-agungkan semua jalan. Pilihlah salah satu diantaranya, dan mulailah berjalan…… Saat itu, Agama sungguh menjadi Rahmat bagimu. Bagiku. Bagi kita semua!
- Sebuah Renungan Spiritual, Bukan Tulisan Ilmiah -