Pada zaman Kerajaan Majapahit di bawah kekuasaan Prabu Brawijaya V, Raden Patah bersama dengan adiknya Aryo Bangah pergi dari Palembang ke Jawa dengan maksud mengabdi kepada Prabu Brawijaya V. Dalam perjalanan menuju Majapahit, mereka lebih dahulu berguru pada Sunan Ngampel (di Daerah Gresik). Setelah selesai berguru, Arya Bangah kemudian diangkat menjadi Adipati Terung. Tetapi Raden Patah (atas petunjuk gurunya) pergi ke arah barat untuk mendirikan masjid dan menyebarkan ajaran Islam.
Sampai di suatu hutan belukar terdapat rumput yang berbau wangi, Kemudian Raden Patah berhenti dan membuka hutan tersebut, serta mendirikan pemukiman dan membuat tanah pertanian. Daerah tersebut oleh Raden Patah di beri nama Glagahwangi. Dalam waktu singkat daerah tersebut menjadi daerah pemukiman dengan tanah pertanian yang sangat luas dan berganti nama menjadi Bintoro.
Prabu Brawijaya yang mengetahui hal itu, lalu mengukuhkan daerah tersebut dalam kekuasaan Majapahit. Selanjutnya daerah tersebut di beri nama Kadipaten Bintoro serta mengangkat Raden Patah menjadi Adipati Bintoro yang pertama. Dengan cepat Bintoro berkembang dan berganti nama kembali menjadi Demak.
Pada tahun 1472 Joko Said datang disekitar Demak, Joko Said berniat menyebarkan ajaran Islam. Raden Patah yang mendengar kedatangan Joko Said, kemudian menyuruh pengawal kerajaan untuk segera memanggilnya. Joko Said merupakan seorang muslim, dan ilmuwan (wali), serta dikenal dengan kepandaian ilmu pengetahuannya. Ilmu pengetahuan yang diperoleh Joko Said sewaktu berkelana, dianggap oleh Raden Patah akan berguna untuk kepentingan Kerajaan Demak.
Kedatangan Joko Said mengingatkan Raden Patah dengan perintah gurunya (Sunan Ngampel) yang belum terlaksana, yaitu untuk mendirikan masjid. Pada tahun 1473 Raden Patah mengumpulkan seluruh wali yang ada di tanah Jawa, dan memberi perintah kepada Joko Said untuk memimpin para wali. Dengan alasan, Raden Patah menganggap kepandaian yang dimiliki oleh Joko Said dapat digunakan untuk mengatur dan menyelesaikan tugas. Joko Said mulai merencanakan pembangunan masjid, selanjutnya pada tahun yang sama juga masjid megah itu selesai dibangun. (sekarang masjid tersebut lebih dikenal dengan nama Masjid Agung Demak). Raden Patah sangat senang, selain masjid itu sudah berdiri dengan megah juga karena dengan tangan Joko Said sendiri dapat membuat karya besar (yang sampai hari ini masih ada, yaitu Soko Guru, adalah Soko atau kayu penyangga yang menjadi pilar penopang bangunan tengah masjid).
Raden Patah kemudian memberikan Joko Said hadiah tanah yang bebas dipilihnya dan akan menjadi kepemilikannya dan turunannya selama-lamanya. Pilihan Joko Said jatuh pada suatu hutan belukar yang letaknya di dataran rendah di dekat Demak, yang berbau “langu” (karena itu kemudian daerah tersebut dinamakan Kadilangu). Joko Said menetap di Kadilangu dan mulai membuka daerah tersebut. Daerah tersebut merupakan hutan belukar yang lebat pada awalnya, setelah dibuka dengan penuh perasaan oleh Joko Said daerah itu dalam waktu singkat berubah menjadi tanah-tanah pertanian yang subur, dan terciptalah 27 daerah baik desa dan kota.
Pada saat mulai menetap di Kadilangu Joko Said tidak menggunakan nama Joko Said, tetapi menggunakan nama baru yaitu Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga sangat dihormati oleh penguasa maupun oleh rakyat kecil sekalipun. Hal ini disebabkan karena ilmu pengetahuan intelektualnya yang sangat luar biasa dan kecerdasannya yang tinggi, di imbangi dengan sikap kelembutan, keramah-tamahan serta penyantun. Nilai-nilai dan sifat- sifat Sunan Kalijaga inilah yang membuat namanya sangat tersohor dan dijadikan sebagai tempat bertanya orang hampir diseluruh Jawa Tengah.
Pada tahun 1483 Kerajaan Majapahit mulai runtuh menjadikan Demak terabaikan. Pada tahun 1488 kemudian Raden Patah dinobatkan menjadi Sultan Demak. Seluruh perbuatan Raden Patah menjadi perbuatan hukum seorang raja, termasuk dalam pemberian hadiah kepada Sunan Kalijaga, karena salah satu sifat seorang raja bijaksana adalah seorang raja tidak boleh mengambil ludahnya sendiri, sehingga raja tidak boleh mencabut perintah baik terdahulu maupun yang akan terjadi. Pada tahun 1492 Raden Patah wafat dan dimakamkan di komplek pemakaman masjid.
Pada tahun 1500 sunan kalijaga wafat dan dimakamkan di Kadilangu. Sampai sekarang makamnya tetap dihormati oleh setiap orang Jawa, bahkan kaisar (Sunan) Solo dalam bulan puasa selau menyuruh orang-orang kepercayaannya untuk mengunjungi makam tersebut.
Setelah Sunan Kalijaga wafat kekuasaan Kadilangu beralih kepada anak cucunya turun-temurun menurut garis keturunan lurus kebawah samapi keturunan ketujuh dengan gelar “Panembahan”. Mulai keturunan ke delatan samapi keturunan ke duabelas dengan gelar “Pangeran Wijil”. Pangeran Wijil yang terakhir meninggal dunia pada tanggal 11 Oktobr 1880. (Surat Residen Semarang No. 11338/1 tanggal. 22 Desember 1880 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda).
Joko Said [ Sunan Kalijaga ]
Pada tahun 1843 Pangeran Wijil V mengusulkan untuk menambah Desa Kemloko dalam wilayah Kadilangu. Tetapi Residen Semarang justru mengeluarkan Surat No. 11338/1 tanggal. 22 Desember 1880 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada intinya Residen Semarang mengusulkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar tanah-tanah di Kadilangu diambil alih saja, dengan alasan ditakutkan pada masa depan akan menjadi sebuah negara kecil di dalam negara.
Pada akhirnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda memutuskan hanya Desa Kauman Kadilangu yang diberikan kepada Pangeran Wijil V, (dengan alasan terdapatnya makam Sunan Kalijaga). Dan selanjutnya Desa Kauman Kadilangu menjadi milik Pangeran Wijil V yang sah. Dikukuhkan dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 16, tertanggal Buitenzorg 5 Mei 1883, tentang Pengangkatan Raden Ngabei Notobronto menjadi Kepala Kadilangu. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa pada awalnya tanah Kadilangu bukanlah Desa Perdikan.
Pada tahun 1912 baru dilakukan pemberian Status Desa Perdikan terhadap tanah-tanah di Kadilangu, dengan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, Gouvernement Besluit Nomor 25, tertanggal 20 Desember 1912, Bijblad Nomor 7848. Baru pada tahun ini, dapat dikatakan secara de facto dengan penguasan Pemerintahan Hindia Belanda, Kadilangu dinyatakan dan diberi status sebagai Desa Perdikan dengan diberi keistimewaan yaitu dibebaskan dari Pajak Bumi, pajak Penghasilan, dan Pajak Pemotongan ternak bagi penduduk tetap di Kadilangu.
Pada tanggal 25 Januari 1915, dengan di dasarkan pada Guovernements Besluit Nomor 10, Pemerintahan Hindia Belanda melakukan pengambilalihanan 10 (sepuluh) desa dari Kadilangu dengan pemberian ganti kerugian seluruhnya sebesar f.13.105,- setiap tahun. Sehingga Desa Perdikan hanya tersisa Desa Kauman Kadilangu.
3. Tanah Kadilangu Pada Zaman Indonesia Merdeka.
Pada zaman perang dunia II, Pemerintahan Hindia Belanda menyerah kepada Jepang pada tahun 1942. Selama Indonesia dalam kekuasaan pemerintahan militer Jepang kurang lebih 3 tahun, tidak ada perubahan apa-apa mengenai status tanah Kadilangu. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan bentuk Negara Kesatuan dan Pemerintahan Republik Indonesia, dan mendasarkan peraturan pada Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, seluruh wilayah bekas jajahan Kolonial Belanda menjadi Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan, segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama Belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar 1945 ini. Karenanya keadaan Kadilangu juga masih sama seperti pada Zaman Hindia Belanda, yaitu Desa Perdikan Kadilangu masih tetap di bawah Kepala Kadilangu. Pada tanggal 4 september 1946 diterbitkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan, yang menghapus semua Desa Perdikan termasuk Desa Perdikan Kadilangu. Tetapi pada kenyataannya Desa Perdikan Kadilangu masih tetap berjalan seperti biasanya, hal ini dikarenakan Belum ada peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan.
Sampai diterbitkanlah Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12 tahun 1962 tentang Penghapusan Desa Perdikan Kadilangu. Tetapi sebelumnya pada tahun 1960, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, yang mengatur masalah pertanahan di seluruh wilayah Indonesia. Ini berarti bahwa seluruh kebijaksanaan pemerintah mengenai pertanahan harus didasarkan kepada UUPA.
Kebijaksanaan Pemerintah Republik Indonesia dalam bidang pertanahan khususnya upaya penghapusan dan pengaturan mengenai Desa Perdikan harus di dasarkan pada UUPA, sehingga Undang-Undang nomor 13 tahun 1946 dan Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12 tahun 1962 tentang Penghapusan desa Perdikan Kadilangu harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam UUPA.
Tetapi dalam pelaksanaan penghapusan Desa Perdikan Kadilangu masih terdapat perbedaan penafsiran antara Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan, dan Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12 tahun 1962 tentang Penghapusan desa Perdikan Kadilangu. Perbedaan penafsiran tersebut, terjadi antara Propinsi Jawa Tengah/Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Demak dengan ahliwaris Sunan Kalijaga di Kadilangu.
Sampai akhirnya pada tanggal 2 Agustus 1986, Gubernur KDH Tingkat I Propinsi Jawa Tengah menerbitkan Surat Nomor 759/23047. Surat ini ditujukan kepada Kepala Direktorat Agraria Propinsi Jawa Tengah, pada intinya menyatakan bahwa “Masalah status tanah pada areal bekas Desa Perdikan Kadilangu, dan penghapusannya diatur di Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12 tahun 1962 tentang Penghapusan Desa Perdikan Kadilangu belum dapat terlaksana dengan tuntas”.
Sebenarnya masalah penghapusan Desa Perdikan Kadilangu menyangkut dua macam hukum, yaitu Hukum Ketatanegaraan dan Hukum Keperdataan. Untuk penghapusan Desa Perdikan Kadilangu sendiri berlaku hukum ketatanegaraan, karena menyangkut masalah pemerintahan umum di Daerah Jawa Tengah, sedangkan mengenai kepemilikan tanah warisan Sunan Kalijaga berlaku Hukum Keperdataan.
Desa perdikan Kadilangu harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga pemerintah berusaha untuk menghapus Desa Perdikan Kadilangu dalam arti Hukum Ketatanegaraannya. Dan dalam pelaksanaannya usaha yang dilakukan tersebut sudah dapat terlaksana, walaupun tanpa dilakukan suatu upacara-upacara formal.
Kehidupan di Desa Kadilangu sekarang sudah berjalan seperti halnya desa-desa lain di Indonesia, dikarenakan Desa Perdikan Kadilangu sudah berubah menjadi desa biasa. Hal ini dapat dilihat dengan perubahan nama desa, yaitu dari Desa Kadilangu menjadi Kelurahan Kadilangu.
(Artikel dari Koid, Demak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar