Halaman Blog

Selasa, 08 Februari 2011

KERIS SEBAGAI WARISAN BUDAYA BANGSA

PENDAHULUAN
Keris adalah sejenis senjata tikam khas yang berasal dari Indonesia, atau mungkin lebih tepat Nusantara. Berdasarkan dokumen-dokumen purbakala, keris dalam bentuk awal telah digunakan sejak abad ke-9. Kuat kemungkinannya bahwa keris telah digunakan sebelum masa tersebut.
Keris dapat ditemui di seluruh Indonesia (kecuali Maluku dan Papua) dan penggunaan keris tersebar di masyarakat Rumpun Melayu. Pada masa sekarang, keris dikenal di daerah Indonesia (terutama di daerah Jawa, Madura, Bali/Lombok, Sumatra, sebagian Kalimantan, serta sebagian Sulawesi), Malaysia, Brunei, Thailand, dan Filipina (khususnya di daerah Mindanao). Di Mindanao, bentuk senjata yang juga disebut keris tidak banyak memiliki kemiripan meskipun juga merupakan senjata tikam. Keris memiliki berbagai macam bentuk, misalnya ada yang bilahnya berkelok-kelok (selalu berbilang ganjil) dan ada pula yang berbilah lurus. Orang Jawa menganggap perbedaan bentuk ini memiliki efek esoteri yang berbeda. Selain digunakan sebagai senjata, keris juga sering dianggap memiliki kekuatan supranatural. Senjata ini sering disebut-sebut dalam berbagai legenda tradisional, seperti keris Mpu Gandring dalam legenda Ken Arok dan Ken Dedes. Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Sementara itu, di Sumatra, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan. Selain keris, masih terdapat sejumlah senjata tikam lain di wilayah Nusantara, seperti rencong dari Aceh, badik dari Sulawesi serta kujang dari Jawa Barat. Keris dibedakan dari senjata tikam lain terutama dari bilahnya. Bilah keris tidak dibuat dari logam tunggal yang dicor tetapi merupakan campuran berbagai logam yang berlapis-lapis. Akibat teknik pembuatan ini, keris memiliki kekhasan berupa pamor pada bilahnya.
DESKRIPSI SINGKAT KERIS
Keris adalah senjata tikam berbentuk asimetris bermata dua yang berasal dari Jawa. Dari tempat asalnya, keris kemudian menyebar ke Pulau Bali, Lombok, Kalimantan, dan bahkan hingga Brunei Darussalam, Malaysia, dan Pulau Mindanao di Filipina.
Lalu dari hanya sekedar senjata tikam, keris kemudian berkembang menjadi simbol status sosial dan simbol kekuasaan/kejantanan bagi pemiliknya.
Pada masa silam, pembuatan keris penuh dengan kerahasiaan. Jangankan cara membikinnya yang cukup rumit, ritual-ritualnya pun serba tersembunyi, dan juga, siapa yang memesannya. Bisa terjadi si pemesan keris banyak di antaranya para raja atau orang penting keraton pada masa lalu memesan kepada si empu pembuat keris agar dalam membikin pun empu menjalankan ritual tertentu serta dengan niat dan tujuan tertentu pula. Keris Empu Gandring adalah salah satu legenda tutur yang populer. Ken Arok yang licik bisa memfitnah Kebo Ijo sebagai pembunuh Akuwu Tunggul Ametung hanya karena sebilah keris yang dititipkan kepadanya secara rahasia.
Budaya “kerahasiaan” dalam pembuatan keris pada masa lalu itu disebut sebagai budaya Sinengker. Keris bagi orang Jawa pada masa lalu merupakan benda yang Sinengker. Dipesan untuk dibikin dengan niat pribadi sehingga perlu dirahasiakan. Meski kerahasiaan itu menghambat pelestariannya, ternyata budaya sinengker itu dulu juga menimbulkan kekhasan mutu dan penampilan keris. Keris yang dari “tangguh” (perkiraan zaman pembuatan atau gaya zaman tertentu) Majapahit abad ke-14-16, misalnya, secara visual tampak berbeda dari keris tangguh tua sebelumnya, masa Kerajaan Pajajaran (abad ke-14-15).
Tetapi, pada zaman kamardikan (setelah kemerdekaan), benteng-benteng sinengker itu mulai runtuh. Ilmu membuat keris mulai diurai keluar tembok keraton. Dalam 20 tahun terakhir, keris bahkan sudah masuk ke tembok kampus. Keris kini sudah menjadi mata kuliah pilihan bagi mahasiswa kriya ISI Solo, di samping tatah logam, kriya kayu, dan wayang.
Bagi pencinta dan kolektor keris, ada semacam peraturan yang penting untuk diingat ketika memilih suatu keris, yaitu: TUHSIRAPUH MORJOYO NGUN-NGGUH Akronim tersebut bermakna:

Wutuh, yaitu keseluruhan dari keris tersebut

Wesi, yaitu bahan logam keris tersebut

Garap, yaitu keahlian empu pembuat keris

Sepuh, yaitu umur atau usia keris. Makin tua keris tersebut maka nilainya makin tinggi

Pamor, yaitu gambar/motif yang ada pada keris

Wojo, yaitu unsur baja/kekerasan keris tersebut

Guwoyo, yaitu tampilan keris tersebut

Wangun, yaitu keindahan keris

Mungguh, yaitu keselarasan keris tersebut.

KRONOLOGI DUNIA PERKERISAN
Keris dapat ditemui di seluruh Indonesia (kecuali Maluku dan Papua), menurut ilmu perkerisan Jawa, perkembangan keris diduga seiring dengan perkembangan kerajaan-kerajaan di Jawa. Namun, kenyataan dan mitos seringkali saling tercampur aduk sehingga seringkali sangat sulit untuk memisahkan kedua hal tersebut.
Dalam kronologi dunia perkerisan, perkembangan keris jawa adalah sebagai berikut :


Periode

Empu

Tahun

I

Purwocarita / Kadewan


Days of the Gods

II

Budha (Cailendra/Borobudur)


8 – 10 M

III

Jenggala/Kediri/Singasari


928-1292

IV

Pajajaran

Empu Kuwung, Empu Ni Sombro

13 – 14M

V

Majapahit

Empu Supa, Empu Jigja

1293-1528

Tuban

Empu Bekeljati

14 – 15M

VI

Demak

Empu Supa

1478-1548

Madura

Empu Kasa

16 – 17M

VII

Pajang

Empu Umyang, Empu Kodhok

1546-1586

VIII

Mataram (Senopaten – Plered)

Empu Kinom, Empu Guling

1586-1678

IX

Kartasura

Empu Lujuguna, Empu Brajaguna I

1678-1745

X

Surakarta Pakubuwana IV

Empu Brajaguna II-III

1788-1820

—–

Surakarta Pakubuwana IX

Empu Japan, Empu Singawijaya

1861-1893

—–

Surakarta Pakubuwana X

Empu Jayasikadga, Empu Wirasukadga

1893-1939

XI

Yogyakarta Hamengkubuwana VII

Empu Taruna Dahana

1877-1921


Setelah kekuasan/pemerintahan Pakubuwono X, tidak ada lagi perkembangan yang signifikan dalam dunia perkerisan. Seorang Raja memiliki kewajiban untuk menciptakan keris baru yang lebih kuat, atau setidaknya membuat “keturunan” atau “mutrani” dari keris ampuh yang telah ada. Pengetahuan mengenai keris jawa sebagian besar disebarkan dari mulut ke mulut. Namun, beberapa dokumen tertulis ditemukan dalam literatur RNg Ronggowarsito, atau dalam dokumen-dokumen tua seperti kitab Arjuna Wiwaha, Serat Pararaton, Babad Tanah Jawi dan kitab-kitab lain. Karena informasi mengenai keris yang ada dalam keraton tidak terbuka untuk umum, beberapa informasi mengenai keris ini juga didapatkan dari relief-relief candi Borobudur, Prambanan, Panataran, Sukuh, dan candi-candi lainnya.

KISAH MAGIS KERIS

Kisah-kisah heroik atau magis tentang keris selalu muncul dari zaman ke zaman. Kisah keris Empu Gandring, sangat erat dan dekat dengan pola pemilihan kepemimpinan di masa Singasari. Siapa yang menguasai keris itu, akan menjadi raja Singasari. Namun, siapa yang menguasai keris itu, akan terbunuh oleh keris itu juga. Keris pesanan Ken Arok, yang kemudian menjadi raja Singasari yang pertama, di besalen (studio keris) Empu Gandring sudah menjadi sebuah mitos. Bahkan di kalangan pakar keris pun, wujud keris Empu Gandring tersebut seperti apa masih terjadi silang pendapat. Di lingkungan keluarga Empu Supa yang hingga kini masih menekuni profesi sebagai pembuat keris, Keris Empu Gandring sebenarnya belum selesai dikerjakan. Namun karena laku prihatin Empu Gandring atau karena kutukan Empu Gandring pulalah keris itu menjadi sangat sakti dan populer. Tetapi keris itu sesungguhnya bernama apa, tidak ada yang tahu. Kebanyakan hanya menyebut keris Empu Gandring.
Kisah Keris Tuding Sumelanggandring juga tidak kalah serunya. Di era Brawijaya pertama, kerajaan Majapahit kehilangan keris bernama Tuding Sumelanggandring. Lalu diutuslah Jaka Supa yang saat itu hendak mendaftar sebagai abdi dalem di kerajaan itu. Dikisahkan dalam perjalanan pencarian keris itu, Jaka Supa akhirnya mendapatkan wisik bahwa keris itu berada di tangan Adipati Siung Laut di Blambangan. Bergegaslah Jaka Supa ke Blambangan. Berkat keahlian Jaka Supa dalam memproduksi keris-keris model baru, Adipati Siung Laut terpikat. Bahkan Adipati itu memerintahkan Jaka Supa untuk membuat duplikat (mutrani) keris Tuding Sumelanggandring. Misi Jaka Supa akhirnya berhasil. Jaka Supa meminta agar tidak ada orang yang mendatangi besalennya saat dia mengerjakan pesanan Adipati Siung Laut, meski saat itu Jaka Supa sudah menjadi menantu Adipati, Jaka Supa sangat setia kepada rajanya di Majapahit, ketimbang terhadap mertuanya di Blambangan. Ternyata Jaka Supa tidak hanya membuat satu duplikat, melainkan dua. Sedangkan keris yang asli disimpannya di paha yang tertutup kain. Lalu dua keris palsu itu dipersembahkan kepada mertuanya. Adipati Siung Laut gembira, karena kini dia punya dua keris kebanggaan Majapahit yang sangat sakti. Selesai mengerjakan keris itu, Jaka Supa secara diam-diam meninggalkan Blambangan. Kisah selanjutnya, Jaka Supa diangkat menjadi salah satu pangeran dengan gelar Pangeran Sendangsedayu. Cita-cita Siung Laut untuk menggeser kekuasaan Majapahit ke Blambangan akhirnya gagal total.
Keris buatan Pangeran Sendangsedayu memiliki ciri pada pamor yang sangat halus. Dan keturunan Pangeran Sendangsedayu ini pulalah yang hingga kini masih melanjutkan pembuatan keris, disamping empu-empu keris dari keturunan empu lain atau pembuat keris yang bukan keturunan empu, yang masih mempertahankan tradisi itu. Dalam dunia pewayangan, cerita-cerita kehebatan tentang keris menjadi sangat dominan. Hampir setiap tokoh wayang memiliki senjata berupa keris. Wayang purwa dengan kisah Mahabarata dan Ramayana yang berkembang sejak zaman Majapahit akhir dan masuknya peradaban Islam, menempatkan keris sebagai benda yang begitu penting. Empu-empu keris dalam kisah pewayangan hanya selalu disebutkan namanya, tetapi tidak pernah diperlihatkan sosoknya. Empu Ramadi, merupakan salah satu yang paling terkenal. Bahkan Ki Dalang sering menyebutkan bahwa Empu Ramadi merupakan pembuat keris di Kahyangan, alamnya para dewa. Keris-keris yang sangat populer di dunia pewayangan antara lain, Kaladete, Kalamisani, Kalanadah, Pulanggeni, Jalak, Carubuk. Sedangkan yang berupa panah antara lain, Guwawijaya, Pasupati, Cakra, Nagabanda, Cundamanik. Yang berupa gada, antara lain gada Rujakpolo, Lukitasari, Inten, Wesi Kuning.
Di zaman Mataram Islam, Sultan Agung Hanyakrakusuma menciptakan tokoh raksasa bernama Buta Cakil. Tokoh ini merupakan petarung yang sangat ahli memainkan keris, Keris Kolomunyeng namanya. Namun, karena Buto Cakil memang diciptakan sebagai tokoh jahat, dalam setiap pehampilannya, Buto Cakil selalu mati oleh kerisnya sendiri. Di zaman Islam keris dan senjata tombak yang sangat terkenal adalah Keris Setankober, milik Adipati Jipang Aria Penangsang dan Tombak Kyai Plered milik Panembahan Senapati.
Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, Pangeran Diponegoro selalu mempersenjatai diri dengan sebilah keris. Bisa dilihat dalam lukisan-lukisan Diponegoro, keris selalu menjadi bagian yang tidak pernah ketinggalan. Demikian pula dengan bapak TNI, Panglima Besar Jenderal Sudirman yang selalu mengenakan keris dalam setiap penampilannya.
Founding Father kita (Bung Karno) dalam setiap fotonya yang monumental, terlihat tidak pernah ketinggalan tongkat komandonya, yang konon di dalam/ujung tongkat komandonya tersebut ada sebilah keris kecil.






CARA PEMBUATAN KERIS


Banyak kisah aneh tentang perilaku empu ketika membuat keris. Empu wanita Ni Sombro, misalnya, suka membuat keris dengan mengambang di permukaan laut. Dia konon mampu membuat keris dengan hanya dipejet-pejet memakai tangan. Setelah jadi, keris dicoblos pakai jari kelingking agar terjadi lubang demi memudahkan untuk merenteng keris buatannya, sebelum kembali ke daratan. Karena itu, keris buatan Ni Sombro dipastikan ada lubangnya, juga ada bekas pejetan tangan.
Di zaman modern sekarang pun, Bupati Wonogiri H Begug Poernomosidi, S.H mampu menunjukkan keanehan. Saat memesan keris pada empu Mas Ngabehi (MNg) Daliman Solo, besi yang merah membara ketika dibakar di tungku (baselen), serta merta diambilnya dan dijilat pakai lidahnya. Ini dilakukan untuk mengawali pembuatan pamor keris dapur sengkelat yang dia pesan.
Tahukah Anda bagaimana keris Kanjeng Kiai (KK) Jenang Kunto dibuat di zaman kerajaan Mataram? Saat itu, Raja Mataram memerintahkan semua penduduknya setor masing-masing sebuah jarum ke keraton. Ini untuk sensus penduduk guna mengetahui jumlah warga di Mataram. Dengan meminta jasa empu Ki Supo Enom (Ki Nom), jarum sebanyak jumlah warga di negeri Mataram itu, kemudian dibuat keris. Jadilah sebilah keris yang diberi nama KK Jenang Kunto.
Bagaimana membuat keris, adalah pertanyaan yang paling menarik, sesungguh proses pembuatan keris tidak berbeda dengan benda-benda seni lainnya, seperti ukir (batu, kayu, tulang, besi). Yang sangat membedakan justru pada kisah-kisah magis yang dibangun bersama kehadiran keris, tombak atau pedang. Kisah-kisah magis itulah yang menjadikan keris sangat sulit untuk diproduksi secara massal. Tetapi dampak lainnya juga memunculkan sikap keengganan, tidak semua orang mau mengoleksi keris sebagai benda seni, karena takut. Namun dari kisah-kisah magis itu pulalah keris menjadi seni tingkat tinggi yang hanya dinikmati oleh mereka yang benar-benar mengerti, memahami, menghargai dan mencintai benda yang dihasilkan oleh seni tempa itu.
Membuat keris diawali dengan pemilihan bahan baku yang baik. Dalam kasanah perkerisan ada berbagai jenis besi, yang sering disebut adalah besi Mangangkang, Pulosrani, Balitung dan sebagainya. Tentu hanya mereka yang sudah mahir yang memiliki kemampuan memilih besi mana yang baik dan mana yang tidak baik sebagai bahan keris. Cara memilih besi bisa menggunakan berbagai cara. Masing-masing pembuat keris memiliki keterampilan berbeda-beda. Ada yang hanya dengan cara mengamati fisik dan warna besi, ada yang harus memukul dan dari suara dentangan besi itu bisa ditentukan pilihannya. Semua itu, konon tergantung kebiasaan dari pembuat keris, dan konon pula hasilnya akan sama, karena tujuannya sama; memilih bahan yang bagus. Besi yang sudah ditentukan, kemudian dibentuk menjadi balok lebar sekitar 5 sentimeter, tebal 2-3 sentimeter. Ada dua balok besi berukuran, bentuk dan berat dibuat sama.
Langkah kedua, menyiapkan pamor. Ada beberapa jenis pamor yang biasa dipakai. Lazimnya, sekarang para pembuat keris mempergunakan nikel. Besi nikel bisa didapatkan di pasar besi tua dengan gampang. Namun ada juga yang mempergunakan velk mobil atau sepeda motor bekas. Untuk keris tertentu, pesanan misalnya, biasanya memakai meteorid sebagai pamor. Namun, karena barang ini sudah sangat langka, meteorid bisa “dikumpulkan” dari pedang atau keris tua yang sudah tidak terawat kemudian dilebur untuk diambil pamornya. Jika pamor yang dipakai berupa kepingan kecil-kecil, untuk mengumpulkannya bisa diakali dengan membuat amplop dari lempengan besi. Kepingan-kepingan tersebut kemudian dimasukkan dalam amplop tersebut, disatukan dan kemudian dibentuk menjadi balok yang bentuknya sama dengan balok besi yang disiapkan di awal. Balok berisi nikel, dijepit di antara dua balok (batangan) besi dan kemudian dibakar. Proses pembakaran diperkirakan mencapai 1.000 derajad celcius lebih. Arang kayu jati menjadi pilihan utama, karena panas arang kayu jati lebih stabil dibanding arang jenis kayu yang lain.
Jika pada bara api sudah muncul kembang api yang berasal dari balok-balok besi yang dibakar tadi, proses penempaan segera dimulai. Proses penempaan ini merupakan cara untuk menyatukan tiga balok tersebut. Dalam proses ini, ketiga balok harus benar-benar rekat, karena saat itulah seorang empu sedang mengawali pembuatan motif pamor. Jika sudah benar-benar menyatu, besi itu kemudian dipotong menjadi dua, sehingga pamor akan menjadi dua lapis.
Dilanjutkan seperti pada proses awal, yakni perekatan dan pemanjangan besi yang sudah berpamor itu. Demikian seterusnya penempaan dilakukan, sampai mendapatkan lapisan besi dengan lapisan-lapisan yang diinginkan. Semakin banyak lapisan, akan semakin halus pamor yang diperoleh. Menghitung lapisannya menggunakan deret ukur. 1, 2, 4, 8, 16, 32, 62 dan seterusnya. Bahan dasar besi berpamor ini, sudah bisa dipergunakan untuk pamor jenis beras wutah, atau wos wutah. Misalnya pada kelipatan 62, proses dihentikan pun bisa.
Besi berpamor itu kemudian dibagi dua, dan dibentuk menjadi trapesium. Ujung yang lebih kecil diarahkan menjadi bagian ujung keris, sedangkan yang lebar diarahkan menjadi bagian pangkal keris. Berikutnya, disiapkan potongan baja murni dan dibentuk trapesium sedikit lebih lebar dibanding trapesium dengan bahan besi berpamor. Tiga trapesium ini kemudian direkatkan dengan pembakaran yang sama sebagaimana dilakukan pada proses pembuatan bahan dasar besi berpamor.
ISTILAH KERIS

BEBERAPA istilah atau nama penyebutan dalam dunia keris Jawa/Madura juga dikenal di hampir seluruh penggemar keris di Indonesia termasuk Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Sebab, keris bukan hanya budaya milik orang Indonesia, tetapi milik bangsa Melayu. Jadi tidak aneh kalau orang Malaysia, Singapura atau Brunei juga mengklaim budaya itu.
YONI atau ANGSAR Sebutan untuk daya kesaktian keris. Untuk melihat sebilah keris memiliki kesaktian atau tidak, nenek moyang kita menggunakan cara menayuh/tayuh. Laku seperti ini hanya bisa dikerjakan oleh mereka yang benar-benar paham dan memiliki kelebihan.
DAPUR merupakan istilah yang dipakai untuk menyebut bentuk atau model keris. Ricikan (ukiran/pahatan) dalam masing-masing keris akan memunculkan nama-nama dapur yang berbeda-beda. Sama-sama keris lurus dan ber-luk (kelok) dengan jumlah yang sama, jika berbeda ricikannya akan berbeda pulsa sebutannya. Ada ratusan nama dapur keris, sebagai contoh keris lurus saja memiliki puluhan dapur.
LUK adalah jumlah kelokan pada keris akan menjadi sebutan yang mengikuti keris. Jumlah kelokan keris selalu ganjil, jika ada keris ber-luk genap, sangat mungkin keris itu pernah patah atau mungkin saja ciptaan baru yang sengaja dibuat kidal. Keris tanpa luk tidak ada sebutan, kecuali keris saja.
WARANGKA sebutan untuk Sarung keris, terbuat dari kayu-kayu bernilai tinggi (langka). Tetapi juga bisa dibuat menggunakan kayu-kayu populer seperti jati, asam, sono. Yang lazim dikenal adalah warangka terbuat dari kayu cendana, trembalo, awar-awar, kemuning, tayuman dan beberapa jenis kayu langka lainnya. Ada empat nama warangka yang sangat populer, yakni warangka gayaman, warangka ladrang, sandang walikat, dan wulan tumanggal.
PELED adalah Motif belang-belang pada warangka yang dihasilkan oleh galih kayu. Masing-masing kayu memiliki peled berbeda-beda.
MENDHAK istilah ini sangat populer di Jawa, Madura, dan Bali, namun untuk daerah lain di luar dari tiga daerah itu biasa disebut ring atau cincin. Terbuat dari beberapa jenis logam dab bahkan di beberapa titiknya bisa dilengkapi dengan permata. Secara teknis mendhak berfungsi memisahkan bilah keris agar tidak bersentuhan langsung dengan warangka.
PAMOR adalah Motif hias pada bilah keris. Ada ribuan motif pamor. Pamor dibuat dari batu meteor, nikel atau pamor yang dihasilkan oleh lipatan-lipatan besi tanpa menggunakan benda jenis lain.
PENDHOK adalah pelindung warangka yang terbuat dari emas, perak, tembaga atau kuningan dengan ukiran-ukiran yang sangat rumit. Selain untuk menambah kemewahan penampilan, pendhok juga berguna untuk melindungi bagian warangka yang menjulang dari atas ke bawah (bila dikenakan) yang biasanya terbuat dari kayu-kayu lunak.
RICIKAN, keris terdiri dari dua bagian, yang melintang disebut ganja, sedangkan yang membujur wilah keris itu sendiri. Pada bagian ganja ada beberapa nama yang diberikan, antara lain, sirah cecak (bagian depan), kepet urang (bagian belakang). Dalam kepet urang ada ukiran dua huruf dha dalam aksara Jawa. Karena ada dua (loro, ron) huruf dha bagian ini kemudian disebut randha nunut. Dalam sebilah keris ada nama-nama bagian yang jumlahnya sangat banyak. Sekar kacang (telale gajah) berbentuk seperti belalai gajah, di dalamnya ada ukiran kecil disebut lambe gajah. Sekar kacang juga bisa diganti dengan ukiran-ukiran kepala naga, kepala anjing, kepala gajah, kepala burung dan lain sebagainya. Berikut ini nama-nama dari bagian keris; bawang sebungkul, tikel alis, kruwingan, sogokan, blumbangan.
TANGGUH, sesungguhnya istilah tangguh merupakan kata ganti dari perkiraan. Yakni zaman apa atau zaman siapa keris itu dibuat. Tangguh Mataram, tangguh Majapahit, Medang Kamolan, Tuban, Singasari, Kediri, Blambangan, Senopaten, Pakunbuwanan, Hamengkubuwanan, Sedayu, Ngento-ento, Madura, Madiun dan lain sebagainya. Untuk mengetahui tangguh sebuah keris, memerlukan ketelitian dan daya ingat yang tinggi. Tidak semua orang tahu tentang hal itu.




CATATAN



Pada 25 November 2005 di Paris-Perancis UNESCO mengakui bahwa keris merupakan warisan kemanusiaan dunia dari Indonesia (The Indonesian Keris a Masterpiece of the Oral and Intangible heritage of humanity). Pada tahun 2003 pengakuan serupa juga UNESCO berikan untuk wayang. Yang menarik dari pengakuan UNESCO tersebut adalah ‘Masterpiece of the Oral and Intangible’ saya pun belum mengerti apakah dari kata tersebut UNESCO juga mengakui kemistisan dari keris ?? nanti akan saya konfirmasi kembali..
Sayangnya orang enggan memiliki atau menyimpan keris, walau mungkin keris itu sendiri pusaka yang diturunkan nenek moyangnya karena Keris sering dihubungkan dengan Yoni atau dunia mistisnya.
Bila kita sangat sayang pada benda-benda seni yang dipajang dirumah, misal: guci, lukisan, patung dst, mengapa kita tidak sayang pada keris?? yang juga memiliki nilai seni yang sangat tinggi dan bahkan lebih dari itu, yaitu sebagai Warisan Budaya dari Nenek Moyang Bangsa.
Benarkah keris merupakan benda sakti? jawabnya ada pada anda semua. Demikian juga jika ditanyakan, benarkah keris itu indah? jawabnya juga ada dalam diri anda semua.
Tetapi untuk melestarikan keris, para pekerja seni banyak yang sudah mencurahkan perhatian. Entah sebagai kolektor, pedagang, pengagum atau bahkan pembuat.
Mereka memiliki andil yang sangat besar dalam mengembangkan budaya warisan kita tersebut.


Sumber: Berbagai studi literatur Buku & Internet

1 komentar:

  1. Saya masih menyimpan keris peninggalan leluhur . Saya menghargai budaya bangsa sendiri. yang penting niat saya nguri - nguri budaya nusantara. Saya tidak peduli dikatakan syirik, musrik dan sebagainya. lebih baik terus terang dan terbuka daripada jadi orang yang munafik.

    BalasHapus